Apa yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Membicarakan Pertemanan Usia 20

Sandy
4 min readNov 27, 2020

--

Credit: Kevin lehtla via unsplash

Disclaimer:

Tulisan ini adalah sesak yang mengganjal di kepala saya. Pada beberapa bagian, ia penuh dengan emosi negatif yang perlu dibaca dengan perlahan, dalam arti: kamu, sebagai pembaca, adalah subjek yang terbebas dari emosi ini. Anggap saja kamu sedang berada di bus, menatap kejauhan lewat jendela, lalu bapak tua dengan brewok seperti Chuck Norris duduk di sebelah kamu dan menceritakan pengalaman hidupnya. Apa-apa yang menurutmu layak, silahkan dipetik, sedangkan yang buruk, keluarkan saja dari kuping kiri.

Akhir-akhir ini pikiran saya sering berkabut. Pikiran yang berkabut membuat saya gagap dalam menyelesaikan pekerjaan, karenanya saya menepi di kamar yang gelap, bersama bercak cahaya tipis serupa benang-benang halus yang masuk melalui lubang kecil berbentuk oval di atas jendela.

Saya tahu, saat itu saya adalah orang paling luang sedunia. Dan karenanya saya punya waktu untuk bercermin- membongkar-dan-menyusun ulang apa-apa yang saya percaya.

Hidup di usia 22 rupanya rumit sekali. Maka dari hati terdalam, saya betul-betul hormat kepada mereka yang berusia 23, 25, 31, dan 48. Entah kesulitan jenis apa yang telah mereka lalui dan hebatnya: mereka bertahan.

Kerumitan-kerumitan yang saya rasakan, jika ingin diibaratkan, seperti halnya tiga bola benang kusut yang saling bertumbukan. Bola-bola benang itu masing-masing mewakiki tiga sumber masalah— yang saya kira milik kita semua: ruang sosial, harta, dan nasib.

Ruang sosial adalah tempat kita membuat jaring-jaring rapuh bernama teman, sahabat, pacar, atau apapun, dengan tujuan mulia agar tidak merasa sepi di dunia yang asing.

Di usia belasan dan awal 20, saya mengira jaring-jaring rapuh itu adalah hal paling berharga yang perlu dijaga segenap tenaga. Yang tidak saya sangka— meski saya tahu benar cepat atau lambat ini bakal terjadi— jaring itu putus. Entah karena ditimpa gaya eksternal yang besar, atau memang karena sifat dasarnya.

Saya punya sahabat sewaktu SD, Galih namanya. Sebagai dua anak dengan tubuh paling boncel sekelas, kami kerap dirisak. Dan karenanya, kami tak terpisahkan.

Ketika masih kelas 2 SD, saya dibekali sangu 10 ribu dan diminta pulang naik angkot karena Opa yang tengah dinas tidak dapat menjemput. Tapi naasnya, Ari, dedengkot bajingan di kelas kami, tahu kalau hari itu saya membawa uang lebih. Bersama geng jahanamnya yang berjumlah 6 orang, ia memojokkan kami.

Saya tidak takut. Saya cukup lihai dalam karate karena telah berlatih sejak belia. Hanya butuh sepersekian detik untuk saya memelintir tangan anak-anak iblis ini, tapi kondisi itu hanya bisa terjadi kalau mereka dengan jantan maju satu per satu. Kita tahu, di diri para pecundang seperti mereka tak mungkin lagi bersisa kegagahan seperti itu.

Saya dan Galih langsung diterjang masing-masing 3 orang. Kami tersungkur ke semak-semak. Sambil terkekeh, Ari menyuruh Wawan, salah satu teman iblisnya, mengambil uang di sakuku. “Pinjam dulu ya, San, buat beli bola plastik di kios depan sekolah.” Saya, dengan wajah yang masih sedikit nyeri, hanya bisa mengumpat dalam hati, dan berharap keadilan itu ada.

Tak sampai 5 detik, Wawan yang tengah menyeberang untuk membeli bola ditabrak motor. Ia dan si pengendara motor terseret hampir 50 meter di aspal, menimbulkan percikan api dan suara memekakkan telinga. Ustaz tempat saya mengaji memang pernah mengatakan bahwa Tuhan bersama orang yang terzalimi, tapi saya tak pernah menyangka balasan itu bisa datang seketika. Kami tak pernah lagi diganggu Ari dan gengnya sejak saat itu.

Pertemananku dan Galih bertahan hingga kelas 4 SD. Rumah dinas milik Opa yang saya dan keluarga tempati telah habis masa pakainya. Kami pun harus pindah ke rumah yang jauh dari kota.

Saya dan Galih belum pernah lagi bertemu sampai hari ini. Kata salah satu teman, Galih ikut pindah sekolah dan tak terdengar lagi kabarnya.

Jika dengan suatu cara tulisan ini dapat sampai ke Galih, kamu tentu tahu betapa berharganya pertemanan kita bagiku, dan karenanya terima kasih banyak!

Sebelum dianggap mengajak orang-orang basolo— istilah kami, ABG Palu pada kurun 2013–2015, kepada orang-orang yang mengasingkan diri dari lingkar pertemanan— yang ingin saya tekankan bahwa pertemanan seakrab apapun, dapat berakhir. Suka ataupun tidak.

Ada banyak sekali variabel yang mampu merenggangkan atau mengakhiri pertemanan, mulai dari waktu, tempat, pengalaman, atau visi dan prinsip hidup. Belum lagi mempertimbangkan manusia sebagai makhluk yang kadang memiliki emosi naik turun, hadeeeh~

Pertemanan itu penting tapi kamu tidak perlu melandaskan hidupmu kepadanya. Kehilangan satu atau mungkin sepuluh teman, di lain waktu melihat sikap seseorang berubah adalah fenomena yang wajar-wajar saja dalam hidup.

Okay, here’s the bitter pills: teman-temanmu tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi ekspektasi kamu sebagaimana halnya kamu tidak memiliki kewajiban untuk terus menyenangkan mereka. Setiap orang bertanggung jawab penuh pada kebahagiaan dan jalan hidupnya masing-masing!

And… that’s life! Hoho.

Mari menutup tulisan ini dengan frasa yang kerap digunakan Hemingway, salah satu penulis kegemaran saya, ketika menutup surat yang ia kirimkan kepada teman-temannya:

Il faut d’abord durer.
Di atas segalanya, orang mesti bertahan.

--

--

Sandy
Sandy

Written by Sandy

Penulis dan editor lepas

No responses yet